Realisasi Jaringan BTS Oleh BAKTI Di Wilayah 3T Tersendat, Begini Usulan Pengamat

Badan Aksesibilitas Telekomunikasi Indonesia (BAKTI) mengemban tugas Pemerintah untuk memperluas akses digital kepada masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di daerah perbatasan, terpencil dan prasejahtera di Indonesia untuk menciptakan akses digital yang lebih inklusif dan merata.

BAKTI menyebutkan, dari target penyelesaian 4.200 base transceiver station (BTS) hingga Maret 2023, total 1900 BTS telah selesai dan aktif memberikan layanan alias on air.

“Rata-rata progres pembangunan BTS 4G tahap I, sebanyak 1.900 lokasi sudah tersiar, dan 2.300 lokasi lainnya mencapai 86 persen,” kata Direktur Sumber Daya dan Administrasi Bakti Fadhilah Mathar dalam keterangan tertulis, Kamis. (14/4/2023). ).

Fadhilah mengatakan membangun infrastruktur digital di desa-desa terpencil tidak mudah. Beberapa masalah yang perlu dihadapi antara lain: tantangan lingkungan, masalah logistik, transportasi, dan ketersediaan sumber daya manusia.

Selain itu, kondisi keamanan yang buruk di beberapa wilayah, dan terganggunya rantai pasok peralatan akibat pandemi Covid-19.

Menyikapi pencapaian tersebut, dokter umum Alamsyah Saragih yang saat ini sedang melakukan studi di bidang telekomunikasi dapat memahami mengapa BAKTI.

Namun, dia menganggap alasan itu keterlaluan.

Mantan Komisaris Ombudsman itu menuturkan, sejak Maret 2023 di Papua, konsorsium Lintas Arta, Huawei dan SEI memang mampu mencapai kinerja ready-to-install sebesar 89%.

Sedangkan di luar Papua Fiberhome, Telkom Infra dan MTD secara keseluruhan hanya mencapai 57 persen meski beberapa subkontraktor bisa mencapai 80 persen. “Jadi inti persoalannya bukan kendala geografis,” kata Alamsyah.

Akibat wabah tersebut, proyek pembangunan BTS 2023 tahap pertama diperpanjang hingga 31 Maret 2023.

Beberapa subkontraktor yang diserahkan memiliki kinerja tinggi yang ditandai dengan lancarnya pembayaran. Namun, banyak perkembangan yang masih terkendala masalah pembayaran.

“Bahkan, di luar Papua tidak bertindak karena banyak subkontraktor level 2 yang tidak dibayar sesuai kesepakatan seperti diberitakan. Covid-19 tidak lagi relevan sebagai alasan setelah proyek diperpanjang,” kata Alamsyah. .

Untuk wilayah Papua dengan gangguan keamanan tinggi, masih ada konsorsium yang bisa menjangkau Ready For Installation (RFI) hingga 89 persen site.

Lintasarta dan Huawei cukup berpengalaman dalam pembangunan menara BTS outdoor. Manajemen logistik cukup baik, dan pembayaran kepada subkontraktor tidak menjadi masalah.

Dengan lambatnya progres pembangunan BTS, Alamsyah menyarankan, proyek pembangunan tahap 2 sebaiknya tidak dilanjutkan, sebelum bisa selesai.

Ia merekomendasikan agar dilakukan evaluasi teknis terhadap fungsionalitas BTS yang telah dibangun untuk mengetahui apakah standar layanan tersebut workable dan tidak berbeda.

Ia juga mengusulkan adanya pengawasan khusus oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap proses lelang awal dan realisasi pembayaran kepada subkontraktor dan pegawai di lapangan.

Proyek-proyek strategis di dalam negeri juga ditujukan untuk menciptakan lapangan kerja.

Tujuannya untuk mengetahui penyebab sebenarnya dari keterlambatan pembangunan TBS, guna mencari solusi yang konstruktif sehingga percepatan pembangunan TBS di kawasan 3T dapat segera terwujud.

Alamsyah berharap proyek pembangunan BTS BAKTI tidak mengalami kerugian seperti proyek Mobil Pusat Layanan Internet Daerah (MPLIK) yang dicetuskan oleh BP3TI Kominfo.

Dikatakannya, hingga saat ini proyek tersebut mengalami gangguan dan dapat mengakibatkan belanja negara mencapai Rp 1,4 triliun.