Tantangan perlambatan ekonomi global dan perubahan lanskap risiko di industri jasa keuangan menjadi tantangan sekaligus peluang bagi industri asuransi dan reasuransi global maupun bagi Indonesia di tahun 2023.
Pelaku industri asuransi dan reasuransi juga diyakini perlu berkolaborasi dalam pengelolaan data untuk mengantisipasi risiko dan mengidentifikasi peluang baru di pasar.
Surbhi Goel, Managing Director and Head of Real Estate and Casualty South East Asia di Munich Re, menjelaskan industri asuransi dan reasuransi global akan terus terkena dampak signifikan dari penguatan pasar hingga akhir tahun 2022. Keadaan ini ditandai dengan kenaikan harga terbesar di industri dalam beberapa dekade terakhir, serta perubahan struktur program, pembatasan volume, dan penghapusan modal sejak 2008.
Dia menjelaskan, kondisi tersebut menjadi alasan dilakukannya pembaharuan kontrak atau perpanjangan kontrak di industri reasuransi pada awal tahun 2023. Jika indikator ekonomi makro tidak berubah, pengetatan kondisi pasar dapat berlanjut tahun ini, kata Surbhi.
“Jika indikator ekonomi makro tidak berubah secara signifikan, pengetatan pasar diperkirakan akan terus berlanjut,” ujarnya di sela-sela acara bertajuk “Perpanjangan Traktat Indonesia 2023: Setelah Fakta dan Setelahnya” yang diselenggarakan oleh PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re, Selasa (31 Januari 2023).
For your information: Firming market atau pasar yang keras adalah terminologi yang biasa digunakan dalam industri asuransi dan reasuransi ketika sulit mendapatkan pertanggungan atau bantuan. Situasi ini terjadi ketika tiga indikator, yaitu harga atau biaya tambahan, meningkat, kondisi diperketat, dan kapasitas dikurangi atau diturunkan.
Reasuransi dan perusahaan asuransi perlu melakukan penyesuaian untuk mengatasi masalah ini, kata Surbha. Penyesuaian ini perlu dilakukan baik dari segi harga atau pricing, maupun mencari ceruk pasar baru yang potensial bagi bisnis asuransi dan reasuransi.
“Penyesuaian perlu dilakukan pada harga pasar primer dan langkah-langkah diambil untuk meningkatkan portofolio,” katanya.
Pada saat yang sama, Aisia Fuad, Senior Account Manager, Head of P&C Indonesia and India Client Markets Sub Swiss Re, mengakui bahwa ketidakpastian ekonomi dan lanskap risiko yang berubah menantang pasar.
Tren kenaikan suku bunga dapat membantu industri melawan inflasi dan meningkatkan pengembalian investasi, katanya. Namun di sisi lain dapat meningkatkan kerawanan finansial.
“Inflasi biaya asuransi berdampak pada profitabilitas karena biaya material dan tenaga kerja tetap tinggi dan cakupan gangguan bisnis meningkat,” kata Aisia.
Faktor lain yang dihadapi industri ini adalah perubahan iklim dan peningkatan frekuensi dan intensitas bahaya sekunder di seluruh dunia. “Ini dapat meningkatkan biaya ekonomi dan kerusakan akibat bencana alam,” jelasnya.
Dalam keadaan seperti ini, menurut Isaiah, Swiss Re melihat perlunya manajemen modal dan risiko yang efektif untuk menjawab tantangan yang dihadapi industri.
Prasyaratnya adalah pengelolaan piutang dan analisis menyeluruh terhadap bidang kegiatan yang paling rentan terhadap inflasi dan risiko kredit.
“Bisnis yang paling terpapar inflasi dan risiko kredit memerlukan analisis yang cermat.”
Aisia percaya bahwa anggota industri asuransi dan reasuransi harus bekerja sama mengumpulkan data untuk memitigasi risiko di industri tersebut.
“Bekerja dengan industri untuk mengumpulkan dan merekam data menggunakan praktik terbaik, praktik menggunakan informasi risiko yang relevan, dan metadata risiko lainnya yang menyoroti kerentanan risiko,” tegasnya.
Di sisi lain, diakuinya dalam kondisi ini masih terbuka peluang untuk asuransi dan reasuransi. Potensi ini terletak pada program transisi energi yang sedang berlangsung di seluruh dunia.
“Transisi energi dan perluasan koneksi digital untuk menjangkau lebih banyak pelanggan,” kata Aisia.
Sementara itu, Direktur Teknik Operasi Indonesia, Re Delil Khairat, mengakui penguatan pasar memang menjadi tantangan bagi industri asuransi dan reasuransi global, termasuk Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, Delil menegaskan, pengetatan pasar merupakan mekanisme bagi industri asuransi dan reasuransi untuk menyesuaikan kondisi guna menciptakan kondisi pasar yang lebih baik atau lebih lunak. Hard market dan soft market menjadi siklus dalam industri asuransi dan reasuransi.
“Kami berharap industri asuransi dan reasuransi segera kembali ke kondisi pasar yang lemah, namun tetap dengan kinerja yang lebih baik dan hati-hati,” ujarnya.
Mengingat situasi pasar yang memburuk dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia Re mendorong peningkatan portofolio bisnisnya dengan berfokus pada beberapa aspek, terutama keseimbangan kontrak, harga dan rasio gabungan.
Dalam perpanjangan kontrak tersebut, Indonesia Re melakukan penyesuaian tarif atau harga yang terjadi pada hampir semua mitra asuransi atau reasuransi. Selain itu, Indonesia Re membatalkan atau merestrukturisasi program kontrak yang jarang digunakan atau tidak digunakan oleh changer.
“Penyesuaian harga tidak dapat dihindari bagi banyak pemberi tugas,” jelas Delil.
Menyusul perubahan signifikan pada perpanjangan perjanjian Januari 2023, Delil menyatakan bahwa Indonesia Re juga telah mempersiapkan langkah selanjutnya untuk mendorong perubahan di industri asuransi.